Jobnas
Menu CV Maker Menu

Business

Ghufron Writer Ghufron Writer
1 tahun yang lalu

Jobnas.com - Jika kamu sedang mengincar pekerjaan desain produk, terutama penulis copy-nya, kamu perlu terlebih dahulu membuat portofolio khusus untuk UX Writer. Dokumen ini dapat membantumu akan dilirik oleh calon recruiter. Lebih dari itu, dokumen ini juga bisa mendeskripsikan seberapa jauh kamu menjalani karirmu. 

Setelah kamu memahami pentingnya portofolio, Jobnas.com akan memberikan terkait bagaimana kamu memulai agar kamu tidak salah langkah. Yuk, simak selengkapnya ! 

Taktik Portofolio untuk UX Writer

1. Buat Gambaran Kasar

Tak dapat dibayangkan jika seandainya ada seorang arsitek yang hendak merancang rumah dengan melakukan penumpukan bata terlebih dahulu dan kemudian memasang ubin. Tentu hal tersebut akan sangat menguras tenaga. Di samping itu, dikhawatirkan takut terjadi kesalahan di tengah-tengah proses. Oleh karena itu, untuk mengatasi hal-hal yang demikian, ia harus membuat sketsa atau menggambar terlebih dahulu. 

Dengan demikian, sebelum membuat portofolio, ia harus membuat gambaran umum secara kasar dulu. Hal ini bisa dirancang dari apa bentuk portofolio yang cocok,  seperti apa desain dan tata letaknya, serta bagaimana mengemas berbagai informasi yang ada. 

2. Kumpulkan Proyek Sebelum-sebelumnya 

Hal yang wajib ada dalam sebuah Portofolio UX Writer adalah proyek yang sudah kamu selesaikan. Kamu bisa memilih beberapa proyek saja. Dengan kata lain, jangan masukkan semua pekerjaan dan pengalamanmu. Justru hal ini akan membuatnya terlalu tebal. Pilihlah proyek yang presisi dan bisa menunjukkan skillmu. Ingat, tujuan dari portofolio adalah memamerkan kualifikasimu. 

3. Ceritakan Proses

Hal yang penting dilakukan adalah memberikan penjelasan di samping menunjukkan karya produk. Hal ini dilakukan agar recruiter tidak kebingungan saat membaca portofoliomu. Kamu bisa memulainya dengan memberikan penjelasan sekaligus uraian yang memudahkan. Seperti, apa masalah yang ada? Bagaimana solusi yang kamu buat?

Baca Juga: Apa itu Inflasi? Berikut Penjelasan Lengkap beserta 4 Penyebab Terjadinya Inflasi

4. Cari Inspirasi dari Portofolio yang Sudah Ada

Mengintip portofolio UX writer yang sudah beredar adalah solusi ketika kamu masih kebingungungan mau menulis apa. Misalnya, intip penilaian portofolio dan hasil kurasi dari UX Collective. Kamu juga bisa mengintip dan mencari situs-situs lainnya.

5. Jangan Lupakan Informasi Penting

Jangan lupa, ada berbagai hal penting yang wajib ada di dalam portofolio. Salah satunya adalah kontakmu. Kamu punya testimoni dari rekan kerja atau atasan? Jangan lupa sisipkan juga di dalamnya, ya!

Belum Pernah Punya Proyek UX Writing?

Perlu diketahui bahwa UX writer memang pekerjaan yang belum lama hadir. Tak pelak, banyak orang yang belum berpengalaman ingin masuk ke dalamnya. Jika kamu salah satunya, bagaimana caranya membuat portofolio UX writer?. Menurut UX Writers Collective, kamu bisa mengkreasikan tulisan yang sudah kamu miliki. Seperti, kamu mungkin merupakan seorang penulis di majalah musik. Kamu pernah meliput soal musisi independen baru.

Bagaimana kamu mengemas tulisan agar pembaca memahami musik yang belum pernah ia dengar? Kamu tentu harus membuat tulisan agar pembaca bisa mudah mengerti. Hal itu merupakan tujuan dasar dari UX writing. Dengan demikian, kamu bisa memasukkannya ke dalam portofoliomu. Di samping itu, menurut UX Booth kamu juga bisa membuat contoh dari kehidupan sehari-sehari. Seperti, ada produk yang menurutmu kurang baik copy-nya. Coba buat perbaikannya, lengkap dengan alasan serta penjelasan lainnya.

Baca Juga: 5 Hal ini Bisa Bikin Kamu Gagal Mendapatkan Promosi Jabatan

Demikian tips dan trik dari Jobnas.com dalam membuat portofolio untuk UX writer. Implementasikan satu per satu agar daftar proyekmu ini makin menarik. 

Ghufron Writer Ghufron Writer
1 tahun yang lalu

Jobnas.com - Ketika kamu mencari sebuah barang melalui Google, tiba-tiba semua iklan digitalmu menampilkan barang yang ingin kamu cari tersebut. Bagaimana hal tersebut bisa terjadi ? Contextual Marketing adalah jawabannya. Strategi inilah yang membuat perusahaan bisa menekan biaya pemasaran. Alih-alih gagal total, tujuan mereka malah tercapai. 

Baca Juga: 5 Tips Membuat Instagram Live yang Menarik Banyak Followers

Di artikel ini, Jobnas.com akan mendeskripsikan terkait Contextual Marketing yang perlu kamu kenali. Yuk, simak selengkapnya !

Pengertian Contextual Marketing

Angga sedang mencari parfum di e-commerce. Namun, ia belum menemukan produk yang kurang tepat. Tak lama kemudian, ia memutuskan untuk mengalihkan perhatiannya terlebih dahulu. Angga pun memutuskan untuk membaca sebuah artikel informatif di media online. Seiring dengan hal tersebut, ia tersentak.  Pasalnya, ada banyak iklan parfum di sana.

Padahal, tidak  ada yang memberitahu siapa pun soal pencarian e-commerce-nya. Entah bagaimana, iklan tersebut bisa sangat sesuai dengan apa yang tengah ia cari-cari. Nah, kenapa hal yang demikian mesti terjadi ? Contextual Marketing adalah jawaban yang tepat. Menurut, New Breed Marketing, pada dasarnya jenis pemasaran ini berorientasi mengikuti keadaan audiens.  

Bagaimana perilaku mereka? Seperti apa kondisi mereka sekarang? Kapan audiens mengakses sebuah informasi?. Nah, iklan sendiri adalah satu dari banyak penerapan contextual marketing. Menurut Harvard Business Review, masih ada contoh lainnya. Dalam laporan tersebut, digambarkan contoh campaign milik perusahaan FCMG, Johnson & Johnson. Lebih spesifik lagi, milik salah satu merek perawatan kulit mereka, Clean & Clear.

Clean & Clear punya target pasar remaja perempuan. Kaum muda ini punya kebiasaan mengobrol secara online seperti kebanyakan. Melalui peluang inilah Clean & Clear masuk. Jadi, mereka memiliki program kartu pos. Dalam konteks ini, kartu pos tidak sembarangan dibuat. Pasalnya, melalui kartu pos inilah kamu akan mendapatkan analisis kulit dan mendapat sampel produk. Campaign ini disesuaikan dengan konteks audiens. Ia tidak asal-asalan dibuat. Ini merupakan salah satu alasan di balik suksesnya strategi ini.

Pentingnya Contextual Marketing

Setelah kamu menilik contoh pengaplikasiannya dan suksesnya pemasaran kontekstual. Kamu juga perlu memahami pentingnya strategi contextual marketing ini. Menurut Marketing Insider Group, inilah alasannya kenapa kamu harus memilih strategi tersebut:

1. Hemat Biaya

Kamu tak perlu banyak mengeluarkan uang dengan pemasaran kontekstual. Akan tetapi, data menjadi sangat penting. Melalui data, kamu dapat mengetahui audiens. Hal inilah yang membuat kamu mudah menciptakan konteks dengan presisi. Kamu bisa membuat buyer pesona sebagai alat bantu. CRM juga bisa menolongmu memahami audiens.

2. Pengalaman dan Kepuasan Pelanggan

Setiap orang pasti senang saat menemukan solusi dari masalah. Apalagi bagi pelanggan, tentu mereka menyukai hal tersebut. Contextual Marketing dapat memberikan jalan keluar bagi masalah audiens. Jadi mereka tidak perlu lama-lama, mereka akan langsung mendapatkan solusinya. 

3. Customer Engagement

Harvard Business Review telah memberikan contoh soal campaign. Dalam contoh tersebut, pelanggan ikut mempromosikan produk. Ini merupakan salah satu kelebihan pemasaran kontekstual. Melaluinya, hubungan relasional antara kamu dan audiens bisa tercipta. Dengan begitu, kamu mendapat promosi gratis dari mereka.

4. Peluang Penjualan Produk

Conversion rate juga akan meninggi, lewat pemasaran kontekstual. Hal ini disebabkan karena iklan disesuaikan dengan keadaan audiens. Tentu hal ini terbilang lebih efektif dari pada hanya sekadar marketing biasa. 

Pro dan Kontra Soal Contextual Marketing

Meski pemasaran kontekstual memiliki berbagai macam kelebihan, kamu harus tetap berhati-hati. Hal ini disebabkan karena contextual marketing adalah strategi yang cukup sensitif. Oleh karenanya tidak semua orang menyukainya. 

Kita kembali ke cerita Angga. Saat harus membuat iklan yang sesuai dengannya, kamu membutuhkan data soal Angga. Lalu, produk apa yang baru ia lihat di e-commerce? Lewat mana iklan bisa dipasang?. Banyak orang yang kurang setuju terhadap penggunaan data ini. Bagi mereka, ini dianggap melanggar privasi. Sehingga dari sinilah kemudian strategi ini banyak memicu pro-kontra. 

Baca Juga: Pertimbangan Membuat Studi Kasus Untuk Marketing

Demikian informasi dari Jobnas.com tentang pemasaran kontekstual. Jangan lupakan trik murah namun mujarab ini, ya! Masih ada banyak strategi dalam dunia marketing, lho. Semua wajib kamu pahami demi kesuksesan perusahaan dengan membaca artikel-artikel serupa di Jobnas.com. 

Ghufron Writer Ghufron Writer
1 tahun yang lalu

Jobnas.com - Seiring dengan perkembangan teknologi yang semakin masif, semakin banyak pula strategi Marketing yang digunakan perusahaan. Nah, salah satunya adalah Astroturfing, atau kepanjangan dari ‘Astroturf Marketing’. 

Meskipun tak jarang berhasil, astroturf marketing dinilai sebagai strategi marketing yang dinilai berisiko dan bisa membahayakan brand itu sendiri.

Baca Juga: Pentingnya Pengembangan Pelanggan dalam Strategi Perencanaan Bisnis

Mengapa demikian? Yuk, temukan jawabannya dan pelajari lebih lanjut tentang hal tersebut dalam artikel Jobnas.com berikut ini!

Pengertian Astroturfing

Secara definitif, astroturfing adalah usaha perusahaan atau brand membuat kesan dukungan dari berbagai kalangan yang tersebar luas terhadap suatu hal, misalnya kebijakan, pemerintahan, dan lain-lain. Nah kerap kali hal ini juga diterapakn dalam strategi marketing. 

Menurut Big Commerce, astroturf marketing merupakan kampanye yang dilakukan untuk membuat kesan sebuah produk atau jasa dicari banyak orang atas keinginannya sendiri. Akan tetapi, sebenarnya hal ini didorong oleh sebuah perusahaan atau brand dan tidaklah jauh berbeda dari konten bersponsor.

Untuk membuat sebuah gerakan terlihat tampak organik, perusahaan biasanya menyembunyikan partisipasi atau sponsorship-nya. Astroturfing kini hal yang cukup lumrah dalam internet marketing. Untuk menyampaikan pesan bersponsor atau konten secara meyakinkan lewat kanal-kanal tertentu seperti media sosial, blog, dan lain-lain,  hal ini dilakukan dengan mengerahkan sekelompok orang.

Tidak hanya untuk mempromosikan produk atau jasa, astroturf marketing adalah salah satu cara untuk menciptakan kesan atau citra brand tertentu.

Strategi Umum Astroturfing

Meninggalkan komentar menggunakan identitas yang berbeda-beda merupakan hal yang paling sering dilakukan untuk upaya astroturfing dalam marketing. Kamu dapat memanfaatkan berbagai platform media sosial untuk merealisasikan strategi ini. 

Di samping itu, respons yang diberikan biasanya sangat cepat, misalnya untuk membangun  sebuah trending topic di Twitter dan membuat orang-orang merasa ini adalah hal yang penting dan patut disimak. Dalam hal-hal politis sekalipun, upaya astroturfing ini kerap sering digunakan. 

Baca Juga: Mencari Sponsorship Online? Berikut Tips, Jenis dan Manfaatnya

Dalam hal ini seperti mengundang orang dengan latar belakang relevan dan kredibel untuk menyampaikan opininya mengenai suatu topik yang sedang berusaha digencarkan, dan lain-lain. Untuk marketing, biasanya astroturfing akan kelihatan lebih santai, meskipun tujuannya juga untuk menciptakan perbincangan yang viral sehingga awareness atau kesadaran calon konsumen bisa ditingkatkan.

Dilansir dari Study.com, astroturfing merupakan salah satu taktik marketing yang kurang disarankan untuk dilakukan. Hal ini tentu membuat pesan kampanye yang disebarkan terasa lebih kredibel dan otentik dibanding menggunakan iklan, jika tidak disadari oleh para konsumen. 

Untuk meningkatkan brand image dan keuntungan perusahaan, astroturf marketing biasanya selalu sering digunakan. Namun, jika kenyataannya terkuak, hal ini bisa berbalik menjadi hal yang merugikan bisnis.

Bentuk Astroturfing

Untuk mempromosikan suatu barang atau jasa ada beberapa bentuk astroturfing di internet yang sering ditemukan hingga sekarang, yaitu:

  • Blogger membuat artikel tentang review produk. Post ini seakan-akan jujur dan -tidak memihak brand tersebut.
  • Menciptakan persona palsu di internet untuk membagikan post serupa sehingga menimbulkan kesan ide populis.
  • Pemasangan iklan di situs-situs khusus yang mengarahkan pengunjung pada situs brand atau produk.
  • Membayar sebuah akun media sosial di Facebook, Twitter, Instagram, dan lain-lain untuk fokus pada suatu brand atau produk tertentu.

Jika hal-hal ini dilakukan untuk mengalahkan perusahaan saingan, hal itu pun dianggap sebagai astroturfing.

Kenapa Umumnya Tidak Disarankan?

Praktik ini adalah strategi marketing yang kurang disarankan, seperti yang telah disebutkan di atas. Langkah ini mungkin memiliki garis pembeda tipis dengan langkah lain untuk beberapa kasus di internet.

Baca Juga: Terapkan White Noise untuk Meningkatkan Produktivitas

Tentu akan menjadi sebuah resiko besar bagi perusahaan apabila praktik ini terbongkar. Salah satu resikonya adalah munculnya public relations crisis bagi perusahaan, di samping menimbulkan malu. Di beberapa negara, praktik ini bahkan bisa menimbulkan jerat hukum bagi para pelakunya.

Itulah penjelasan Jobnas.com terkait Astrotourfing. Nah, sudah lebih paham, kan, mengenai astroturfing? Apakah menurutmu strategi marketing ini baik? Atau justru tidak?

Ghufron Writer Ghufron Writer
1 tahun yang lalu

Jobnas.com - Saat ingin mengambil keputusan bisnis, mana metode yang tepat untuk kamu pilih antara data-informed dengan data-driven. Sebetulnya, di era data analytics ini kamu bisa menggunakan keduanya. Namun, dari masing-masing keduanya tentu memiliki kekurangan sekaligus kelebihan masing-masing. Selain itu, konteks penggunaannya juga bisa berbeda-beda.

Baca Juga: Cek Kartu BPJS Kesehatan Aktif Atau Tidak

Kira-kira, apa saja yang harus dipertimbangkan sebelum memilih salah satu di antara metode ini? 

Di artikel ini, Jobnas.com akan menjawab pertanyaan itu. Sebelum itu, kamu harus memahami dulu terkait definisi dari keduanya. Yuk, simak selengkapnya di bawah ini !

Pengertian Keduanya

Nah, tentu kamu harus berkenalan dulu dengan  data-driven dan data-informed sebelum masuk pada inti pembahasan artikel ini. 

1. Data-Driven

Data-driven adalah sebuah proses pengambilan keputusan. Keputusan ini ditentukan atas dasar data. Oleh karena itu, tak sembarang mengambil data ini. Pengambilan keputusan akan melenceng jika tanpa data. Hal ini terjadi karena manusia punya banyak bias dan asumsi. 

Di samping itu, data ini menawarkan ukuran objektif atas suatu fenomena. Dengan alasan ini, data bisa membantu manusia. Metode ini sedang banyak diterapkan di berbagai industri, seperti ditulis oleh Northeastern University.

2. Data-Informed

Seperti data-informed, data-driven merupakan proses pengambilan keputusan berbasis bantuan data. Namun, kamu tak hanya mengandalkan data saja. Menurut Segment, ada pula pertimbangan pengalaman lalu, riset pengguna, dan informasi penting lainnya. Hal ini menandakan bahwa data yang kamu miliki akan diperkaya oleh berbagai konteks. Kamu tak semata-mata mengambil keputusan atas dasar data saja.

Baca Juga: Process Mining, Pengertian, Jenis, Manfaat, dan 7 Contoh Penggunaannya

Data-Driven vs Data-Informed

Pembahasan inti pada artikel ini sebetulnya mengerucut pada persoalan mana yang lebih baik antara data–driven atau data–informed. Pada hakikatnya, setiap manusia tentu memiliki semacam bias-bias. Menurut Cleverism, data–driven merupakan metode yang minim akan hal ini.

Di samping itu, tidak butuh waktu yang lama untuk melakukannya.  Kamu tak perlu memperkaya data dengan informasi lainnya. Kendati demikian, kamu akan membutuhkan banyak sekali data untuk menggunakan metode ini. Hal ini disebabkan karena data yang sedikit bisa jadi punya outlier atau nilai ekstrim yang besar. Oleh karena itu, hal ini akan membuat datamu tidak akurat. Sehingga, pada akhirnya keputusan yang diambil kurang presisi. 

Baca Juga: Sama-Sama Mudahkan Transaksi, Apa Perbedaan Digital Banking, Mobile Banking dan Internet Banking?

Untuk data–informed, sebenarnya metode ini kekurangan data berupa nilai ekstrim.  Sebab, dalam teknik data–informed, data akan dianalisis lebih lanjut dengan beragam informasi. Proses ini bisa menghasilkan fakta sebenarnya, tanpa nilai ekstrem apa pun. Di samping itu pula, metode ini akan memudahkanmu menekan dampak kesalahan teknis. Misalnya, adanya error dalam ekstraksi data dan lain sebagainya. Sayangnya, faktor manusia jadi kekurangannya. Glints sudah sempat menyinggung hal ini di atas.

Sang analis harus teliti dan hati-hati dalam menggunakan metode ini, karena sekali lagi masing-masing manusia memiliki bias. 

Nah, setelah kamu mengetahui keduanya, kamu pasti akan bertanya-tanya teknik apa yang mesti kamu pilih ?. Seperti dikutip dari Techsauce, ada beberapa pertimbangan yang bisa kamu pikirkan. Pertimbangan itu di antaranya:

  • Pilih data–informed, jika data kurang lengkap.
  • Pilih data–informed, jika ada banyak faktor eksternal dalam pengambilan keputusan. 
  • Pilih data–driven, jika belum punya banyak tenaga atau perusahaan masih kecil.

Baca juga: Kenali 4 Tanda Bekerja Secara Remote yang Tidak Efektif

Demikian informasi dari Jobnas.com tentang data-driven vs data-informed. Jadi, bagaimana? Metode apa yang ingin kamu terapkan?